Takaran Beragama

Curhat sedikit: aku sedih.

Cukup sering aku mendengar komentar orang, baik teman maupun asing, yang kurang lebih berkata begini, “Aku beragama, tapi ya yang biasa aja, nggak yang berlebihan kayak mereka.”

‘Mereka’ di sini biasanya merujuk pada orang-orang tertentu yang dipandang ‘religius banget’. Bagi yang muslim, mereka biasanya dilabeli sebagai ‘anak rohis’, ‘anak ski’, atau ‘anak masjid’. ‘Berlebihan’ sering juga digantikan dengan kata ‘lebay’ yang konotasinya lebih negatif.

Apalagi kalau komentar itu ditambahi justifikasi begini, “Kan yang berlebihan itu nggak baik!” Duh, sedihnya lipat-lipat deh.

Aku ingin menitikberatkan pembahasan pada kata-kata yang kucetak miring.

Pertama, sebenarnya apa sih ‘beragama secara biasa aja’ itu? Apa juga maksudnya ‘beragama secara berlebihan’?

Bagiku sederhana saja. Kita harus tahu dulu ‘beragama’ itu seperti apa, dan standar-standarnya bagaimana. Barulah kita bisa menentukan apa yang ‘biasa aja’ dan apa yang ‘berlebihan’. Ini seperti kalau kita mau mencuci dengan deterjen. Kita harus baca petunjuknya dulu lah baru bisa tahu seberapa takaran yang ‘biasa’ dan seberapa takaran yang ‘berlebihan’.

Lha tapi orang-orang yang sedang dalam perjalanan mencari tahu ini sering kali malah dilabeli ‘berlebihan’ duluan. Bingung kan?

Hal kedua yang perlu direnungi adalah konsep berlebihan itu sendiri. Bedakan ‘berlebihan’ dan ‘mulia’! Berlebihan itu seperti orang yang menghambur-hamburkan uang dengan percuma. Mulia itu seperti orang yang menghambur-hamburkan uang untuk membantu orang lain, bahkan saat dirinya sendiri dalam kesempitan. Bisa ditangkap? Jadi, please, melaksanakan ibadah sunnah (apalagi ibadah wajib) itu bukan berlebihan!

Aku tidak terlalu pandai menyampaikan pemikiranku. Maka untuk melengkapinya, di bawah ini aku mengutip pendapat Kierkegaard dalam persoalan beragama:

..agama Kristen itu sekaligus luar biasa dan sangat irasional sehingga kemungkinannya hanyalah ya atau tidak. Tidaklah baik menjadi ‘agak’ saleh atau saleh ‘sampai tahap tertentu’. Sebab Yesus itu benar-benar bangkit pada Hari Paskah–atau tidak sama sekali. Dan jika memang dia benar-benar bangkit dari kematian, jika dia memang benar-benar mati, hal ini merupakan sesuatu yang luar biasa sehingga agama tersebut harus menyusup ke dalam seluruh kehidupan kita.

Aku setuju dengan pendapat itu. Hanya ada dua pilihan masuk akal: beragama secara total atau sekalian tidak sama sekali. Memilih suatu standar di tengah keduanya adalah hal yang aneh. Seriously.

Published by

afina

the girl who struggle with the question, "Who am I?"

17 thoughts on “Takaran Beragama”

    1. Harseto!
      Aku berasumsi itu referensi yang bisa dianggap ‘netral’ oleh teman-teman yang sedang jadi sorotan utama post ini. Harapannya ya.. pembaca (dan penulis) bisa merenung ulang. Menggunakan referensi dari agamaku mungkin kurang bisa merangkul target karena dicap ‘berlebihan’ duluan.
      Semoga bermanfaat.

      Like

      1. :D,, sudah kutebak..
        tulisannya bagus jg..
        kapan nih bukunya di launching..
        :D

        Like

      2. Terima kasih.
        Buku…mohon didoakan saja. Pake nanya segala begini..berarti kalo udah launch harus beli lho ya!!

        Like

  1. Assalamu’alaikum Wr. Wbr.

    Maaf kalau tidak sopan tiba-tiba memberi komentar, izinkan ana memberi komentar :)

    Tulisan antum bagus, sederhana tetapi mengena. Ada beberapa hal yang ingin ana tanyakan:
    1. Mengapa antum menggunakan pendapat Kierkegaard?
    2. Mengapa antum tidak mengutip dari al-Quran atau al-Hadits, dan lebih meyakinkan mereka (sebagai muslim) bahwa dalam Islam sudah ada aturan yang jelas dan dijelaskan dengan terperinci?

    Lalu, tetap semangat dalam mengingatkan ke sesama muslim, seperti yang Allah perintahkan dalam al-Quran:
    “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (TQS Ali Imran [3] : 104)

    Wassalamu’alaikum Wr. Wbr.

    Like

    1. Wa’alaykumussalam warahmatullah wabarakatuh
      Terima kasih untuk komentarnya :)

      Sekilas sama dengan pertanyaan Harseto kan? (dan sudah ada jawabannya) Nah, saya coba jabarkan lagi deh di sini..

      Ceritanya, saat itu saya sedang sedih karena merasa direndahkan oleh seseorang lantaran aktivitas saya yang berhubungan dengan keagamaan. Beberapa saat kemudian saya membaca buku dan menemukan kutipan Kierkegaard ini. Saya merasa pemikiran saya terwakili dengan baik oleh kata-kata itu. Nah, jadi alasan menggunakan kutipan tersebut adalah karena isi dan momen yang cocok.

      Saya rasa setiap orang membutuhkan jembatan. Langkah pertama dalam menyeberang selalu dipijak pada tempat yang terdekat dengan diri sendiri. Kierkegaard adalah tokoh yang dekat dengan lingkungan saya, maka saya meminjam kutipannya untuk menjadi pijakan terdekat dari jembatan.

      Tapi begini.. kadang saya juga ingin bilang ke orang-orang bahwa filsafat tidak bertentangan dengan agama. Menurut pengamatan saya, ada pendapat yang berbunyi begini, “Jangan belajar filsafat, nanti jadi ateis!” Saya ingin bilang bahwa itu tidak benar. Menurut saya kedudukan filsafat sama saja dengan fisika. Dalam post ini saya ingin mengantarkan pembaca kepada Islam dengan melewati jalan filosofis.

      Semoga cukup menjawab.

      Like

  2. Gue seneng lo make Kierkegaard *sekalian melajarin filman* dan bener sih kl dari awal udah ada pelabelan ‘lebay’ trs lo ngasih analogi atau penjelasan dari hadits atau quran dgn artiannya yg super panjang dan bahasanya super belibet, mungkin gue sendiri ga bakal baca sampe habis he :D
    Eniwei gue baru sadar juga sih Mulia sama Lebay kadang tersamarkan batas perbedaannya. Akibat adanya kelompok tertentu yg terlalu radikal/fanatik maybe?

    Like

    1. Naahh ini lagi nih Ras. Yang dimaksud ‘radikal’ atau ‘fanatik’ itu apa sih?
      Radikal itu artinya mendasar, mengakar. Kelompok yang radikal tuh biasanya kelompok para filsuf, hehe..
      Fanatik itu artinya meyakini dengan amat kuat. Hmm..yang namanya yakin emang harusnya kayak gitu kan..
      Well, apa yang salah dengan berpikir secara mendasar dan meyakini dengan amat kuat? :D

      Like

      1. hemmm mungkin maksudnya kelompok garis keras? saking kuatnya dia mendalami sampai ga menyisakan ruang untuk mereka melakukan kesalahan gitu?

        Like

  3. hari ini gw kepoin blog2 anak psiko.. bagus2 ya… :D

    Gw setuju sama inti tulisan ini. Cuma mungkin masih berat buat gw jalaninnya (menjalanan agama dengan total).. hahaha

    Betapapun, ‘lompatan iman’ itu agak berbahaya ya kalau dipikir2.. Karena, sepengetahuan gw, lompatan iman itu kan melampui konvensi moral masyarakat.

    Contoh simpel yang pernah gw tonton disini: http://www.youtube.com/watch?v=v9McO1BkJmg

    Disitu profesor Lawrence kasih contoh lompatan ‘lompatan iman’nya kierkeegard yang melampui konvensi moral. Kalo orang salah, sempet ada masa dimana konvensi moral berkata orang tersebut harus sepenuhnya dihukum (keadilan). Tapi dalam agama ada konsep ‘memaafkan’ yang melampui konvensi moral tersebut.

    Cuma logika ini bisa dibalik. Gimana kalau ‘lompatan iman’ gw berkata: “semua agama selain agama gw harus mati”. bisa jadi teroris dong?

    gak tau lah ya.. hahaha #ngacir

    Like

    1. Hmm ya.. lompatan iman yg bener itu bukan sekadar hasil perenungan dalam diri Bim. Harus ada reference-nya gitu kan. Makanya itu setiap orang harus belajar. Kalo belajar dia jadi ngerti harus lompat ke mana, nggak lompat ke sana ke mari dan nabrak-nabrak pager yang malah bikin cedera. Ngerti kan maksudnya? Jadi kesimpulannya, ayo belajar agama lah Bim, hehe. Buktiin kalo emang setuju sama inti tulisan ini, ngejar totalitas itu.

      Like

  4. Tulisan yang menarik. Sedikit saran, mungkin lebih baik kamu harusnya lebih menunjukkan identitas agamamu vin, dalam artian, jangan sampai orang salah mengira tentang agamamu. Dan, seputar pengambilan sumber, nggak ada yang mewajibkanmu menulis hadits secara lengkap kan? Jadi mungkin kamu sekedar mengambil potongan tertentu tanpa mencantumkan sumber misalnya, dengan tujuan supaya orang awam seperti saya ini tidak malas membaca gitu. Itu mngkn untuk solusi bagi yang protes ttg sumbermu tadi. Yah semoga tulisan2 ke depannya lebih bagus lagi ya (yang ini udah bagus)

    Like

    1. Memang agak ngga enak juga pas mau makainya, tapi yang namanya kutipan nggak boleh diganti-ganti seenak udel kan.
      Sebenarnya ini juga jadi kritik yang menyadarkan. Maksudnya, aku masih lebih akrab sama Kierkegaard daripada Quran dan Hadits. Proses, insyaallah.
      Kalau begitu minta saran Zuh, hadits apa ya yang kira-kira punya inti ide seperti kutipan Kierkegaard itu?

      Like

      1. Sejujurnya aku nggak terlalu memahami apa yang dimaksud kierkegaard itu. Yang tak tangkep mungkin cuma anjuran beragama secara total. Mungkin bisa dijelaskan gini. Kita awalnya disuruh masuk islam kan? Setelah berislam, kita disuruh beriman. Nah, setelah beriman, ternyata masih ada yang lebih di atasnya itu, yakni berislam secara kaffah. Nah, ternyata beragama secara seutuhnya itu diperintahkan bahkan kepada orang2 yang sudah beriman. Itu menunjukkan pentingnya kan? Yah mungkin bisa gitu. Maklumi ya masih kurang juga ilmuku

        Like

Leave me some words