Seragam

oleh Agus R. Sarjono
dalam Catatan Kebudayaan Horison, September 2003

Pendidikan di Indonesia, lebih dari apapun. Seragam, misalnya, lebih penting dari kreativitas, kemampuan belajar, kerajinan bersekolah, maupun apalagi minat baca siswa. Siswa yang tidak kreatif tentulah bisa dimaafkan, dan dia bakal lulus dengan baik-baik saja asal tidak melakukan tindakan gawat dan cukup rajin bersekolah. Kemampuan bernalar lemah, sulit melihat kaitan antara satu kejadian dengan kejadian, satu teori dengan teori dalam rangkaian sebab-akibat, jelas tidak mengapa. Selama sang siswa rajin menghafal, niscaya ia akan naik kelas dan pada gilirannya lulus sekolah dengan relatif mulus dan sejahtera. Dan jika ada siswa yang sejak menginjakkan kaki ke sekolah Sekolah Dasar hingga duduk di sekolah menengah umum sama sekali tidak pernah membaca sebuah buku pun hingga utuh selesai, tentulah tidak mengapa. Banyak siswa yang lulus dari sekolah menengah umum maupun kejuruan tanpa punya pengalaman membaca sebuah novel sampai tamat, dan sama sekali hal ini tidak dianggap skandal. Tapi… jangan coba-coba bersekolah tanpa memakai seragam! Jika ada siswa yang bersekolah selama beberapa hari tanpa memakai seragam, dapat dipastikan ia akan mendapat teguran keras. Dan jika dia masih saja bersekolah tanpa seragam, hampir dipastikan dia akan segera dikeluarkan dari sekolah. Tidak pandai, tidak baca buku, tidak rajin, tidak aktif, tidak kreatif, sama sekali tidak masalah. Tapi jangan coba-coba tidak pakai seragam!

Seragam adalah norma status pendidikan Indonesia, berani tidak menggubrisnya sama dengan melawan sendi-sendi pendidikan.

Seragam adalah prasarat penting bagi militer untuk mengenali kesatuan, juga memudahkan dalam peperangan. Karena dalam pertempuran harus jelas siapa kawan siapa lawan, dan kawan atau lawan dikenali lewat seragam. Demikian juga dengan pertandingan-pertandingan sepak bola misalnya. Seragam untuk menandai siapa kawan siapa lawan. Bola harus jelas dioper kepada seragam yang tepat, sebab salah oper kepada seragam yang salah bisa gawat bagi keamanan gawang. Dan di beberapa kota besar Indonesia, khususnya di Jakarta, seragam sekolah lah di antaranya yang menjadi tanda siapa kelompok kawan dan siapa kelompok lawan dalam peristiwa-peristiwa tawuran. Jika terjadi tawuran antarsekolah, tidak penting benar siapa yang bersalah dan siapa yang memulai perkara, yang penting setiap siswa yang mengenakan seragam lawan akan dijadikan korban hantaman. Maka sesuai dengan semangat seragam ria itu, ujian-ujian pun dilakukan secara seragam di tingkat nasional. Lebih luas dari itu, semasa Orde Baru di semua lini dilakukan penataran-penataran P4 untuk menyeragamkan pikiran masyarakat di berbagai tingkat dan urusan.

Sastra, berdasar tabiatnya adalah sebuah kegiatan yang melawan keseragaman. Sebagaimana kehidupan adalah representasi keberagaman, keberbagaian, kekayaan serba warna maka sastra pun mencari kaitannya yang akrab dengan kehidupan dan menemukan keberagaman. Bahkan moralitas yang formal dan necis serta cenderung seragam itu, dari waktu ke waktu selalu mendapat gugatan, pertanyaan ulang, dan perlawanan dari sastra.

Di negeri-negeri komunis yang gemar penyeragaman fikiran sastra hadir menggugat dengan menampilkan sosok manusia sebagai sesuatu yang unik, yang tidak seragam, sebagaimana diperlihatkan Boris Pasternak dalam Dr. Zhivago, misalnya. Di tengah dominannya moralitas borjuis yang necis dan munafik, sastra hadir menampilkan sisi gelap dan kekotoran tersembunyi dari manusia seperti diperlihatkan Gustave Flaubert dalam Madame Bovary. Di tengah pengkastaan yang ketat di India di satu sisi dan kehebohan “membela proletar” di sisi lain, sastra menampilkan percintaan murni antara kasta tinggi keluarga kaya dengan kasta terendah yang tak boleh disentuh, sekaligus menelanjangi kebobrobkan petinggi komunis yang berlagak membela rakyat padahal berhati keji pada rakyat, sebagaimana ditampilkan Arundhati Roy dalam novelnya God of The Small Things. Dan di tengah dominannya sistem kekuasaan Jawa Feodal Orde Baru, sastra menampilkan anak keturunan bangsawan Jawa yang justru menelanjangi sistem feodal yang mengadopsi dan melestarikan struktur sosial kolonial Belanda, sebagaimana diperlihatkan Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya Bumi Manusia.

Jika ilmu bergerak mencari keumuman, sastra justru bergerak menuju kekhususan dan keunikan. Jika manusia dalam ilmu cenderung dibuat menjadi tipologi-tipologi, maka manusia dalam sastra ditampilkan dalam situasinya yang khas. Makin besar suatu karya sastra makin besar pula gugatannya ke tengah jantung keumuman. Makin kecil suatu karya sastra makin dekat dan rapat ia pada pandangan-pandangan yang serba umum tentang hidup, moralitas, dan manusia. Makin besar suatu karya sastra makin kukuh ia bergerak menerjang arus baik gaya hidup maupun moralitas umur. Makin kurus suatu karya sastra makin hanyut ia berenang dalam arus gaya hidup dan moralitas umum.

Untuk mendapat segerombolan generasi muda yang menjelma massa, serba umum dan seragam, jauhkanlah mereka dari sastra. Dan untuk mendapat serombongan besar generasi muda yang kukuh berdiri menjadi dirinya sendiri dengan keberagaman dan keleluasaan imajinatif, dekatkanlah mereka dengan sastra. Dan sastra yang tidak membebaskan, tidak membuka ruang selebar-lebarnya bagi kemungkinan manusia sebagai unikum, adalah sastra yang immoral, karena moralitas sastra justru terletak pada pertanyaan dari gugatan-gugatannya pada absolutisme yang mengungkung eksistensi manusia untuk melonggarkan eksistensi manusia menuju seluas-luasnya wilayah (ke)mungkin(an).

Catatan saya:
‘Pertarungan’ ilmu dan seni ya? Setuju sekali dengan tulisan ini. Tapi bagaimanapun, nomor satu tetap religi.

Published by

afina

the girl who struggle with the question, "Who am I?"

2 thoughts on “Seragam”

Leave me some words