Di Bawah Tujuh Ribu Empat Ratus Delapan Puluh Dua Tetes Air

Aku sedang berada di Fakultas Ilmu Komputer. Dikepung hujan.

 

Selesai salat asar, ternyata masih hujan. Di samping mushalla aku menemukan semacam beranda yang sepi. Ada sebuah kursi kosong, mengundang untuk diduduki. Maka aku menyambut undangannya. Lalu mulai menulis.

Pangeran Kecil mungkin bisa menikmati empat-puluh-empat matahari terbenam dalam sehari, cukup dengan menggeser kursi. Aku tidak bisa memiliki itu, tapi setidaknya kali ini ada tujuh ribu empat ratus delapan puluh dua tetes air–kuperkirakan jumlahnya segitu, eh tidak juga sih, aku hanya mengarang–di depanku. Di atas ada gemeretak suara mereka yang menabrak-nabrak atap. Di bawah, sedikit tanah yang tidak tertutup semen menguarkan ramuan wewangian hujan: petrichor. Sip.

Ada sedikit takut padaku. Soalnya ini fakultas orang lain. Aku tidak tahu apakah pelataran beranda ini ‘normal’ untuk didiami. Atau mungkin kursi ini sebenarnya tidak boleh diduduki. Atau, ya sekadar takut saja kalau nanti ada orang yang menemukanku sedang duduk sendirian, menulis. Dan aku pasti akan merasa tertangkap basah–walaupun yakin betul tidak melakukan salah.

Suatu hari aku pernah masuk ke sebuah bilik toilet di kampus, hanya karena ingin duduk sendirian. Dengan begitu aku merasa lebih memiliki segalanya, lebih memegang kendali akan waktu dan tindakan-tindakanku. Tidak ada impuls dari orang lain.

Pernahkah kamu merasakannya, melakukannya?

Pada waktu-waktu tertentu aku juga memutuskan untuk tidak keluar dari kamar, tidak merespon panggilan telepon genggam maupun ketukan pintu. Lalu untuk menghemat kerepotan menjelaskan, aku akan menjawab pertanyaan “Kenapa?” dengan “Sakit.” Aku tidak merasa hal ini adalah ‘penyakit’, tapi aku tidak sedang berbohong juga, karena memang benar sakit. Sakit seperti pada betis ketika kita sudah terlalu lama berjalan. Kelelahan–mungkin bisa dikata begitu. Aku masih cupu, belum mahir menjelaskan hal-hal begini dalam kata.

Pernahkah kamu merasakannya, melakukannya?

Memang kadang perilaku ini jadi sedikit keterlaluan–aku minta maaf jika hal itu pernah merugikanmu atau.. by any chance, membuatmu khawatir. Nah makanya, kalau boleh, kalau sesekali sedang berkesempatan, aku ingin minta tolong padamu untuk mengingatkan, menarikku paksa keluar dari cangkang. Bagaimana?

Langit semakin gelap. Hujan belum juga menuntaskan rindunya pada tanah.

Hari ini aku sedang memakai baju hitam. Duh semoga tidak ada yang melihatku dan ketakutan mengira aku setan…

Published by

afina

the girl who struggle with the question, "Who am I?"

6 thoughts on “Di Bawah Tujuh Ribu Empat Ratus Delapan Puluh Dua Tetes Air”

  1. Vin ini hari Sabtu kemarin bukan ya? aku liat orang mirip km di mushola Fasilkom.
    eh btw kalo lupa aku, aku temennya Hana yg waktu itu ketemu di pelatihan nulis sama Bang Ijonk dan Pak Jonru :D

    Like

    1. Iya, Dipta Tanaya. Kemungkinan besar itu memang aku. Kamu nggak mengira aku setan kan? Baguslah, haha.
      Aku mengingatmu kok, cuma lupa wajahmu .__. maaf…

      Like

Leave me some words