Minggu lalu aku menemukan segelas kopi di dekat bak cuci piring. Bubuk kopi yang tadinya kuabaikan sudah terseduh dengan air panas. Sebungkus choco granule ditempelkan di dinding gelasnya. A la warung kopi.

Aku tidak yakin, tapi aku ingin menghubung-hubungkan kopi ini dengan susu cokelat. Bagaimana? Cukup mirip tidak?


Aku tahu seharusnya aku tidak memaksakan diri terhadap perasaan apapun. Aku tidak perlu merasa tertuntut untuk bersedih atau kecewa demi validasi seperangkat sikap yang koheren. Tapi saat ini aku tidak punya perasaan alternatif yang cukup kuat. Mungkin cuma kehambaran. Kesedihan memenangkan persaingan ini secara logis, walaupun mencurigakan. Seolah ada permainan sogok wasit di baliknya.


 

Dulu ketika aku masih kelas 1, 2, atau 3 SD (tidak ingat persis), ada sebuah puisi di buku pelajaran Bahasa Indonesia yang berjudul (kalau tidak salah) Tanah Merah Itu. Puisi itu mengungkapkan kesedihan seorang anak yang ibunya meninggal dunia. Setelah membaca puisi itu di sekolah, aku agaknya merasa bertanggung jawab untuk meresapi maknanya secara mendalam. Di rumah aku pun membacanya lagi dan lagi, merenunginya lapis demi lapis. Kebetulan hari itu ibuku tak kunjung pulang ke rumah sampai sore. Kepalaku merangkai kemungkinan-kemungkinan dan aku pun menangis diam-diam. Aku yakin pada masa itu aku belum memiliki perasaan cinta terhadap ibu. Tangis hari itu hanyalah kesedihan yang terbangun karena rasa bertanggung jawab yang aneh atas modelling dari sebuah teks puisi. . .


 

Sekali lagi, aku tahu seharusnya tidak memaksakan diri terhadap perasaan apapun. Tapi tidak merasa membuatku merasa hampa. Mungkin, sebagaimana kita membutuhkan struktur kognisi untuk mencerna informasi di dunia luar, kita juga membutuhkan struktur afeksi untuk memahami keadaan di dalam diri sendiri.

Halah. Barangkali aku anaknya terlalu drama saja.

Published by

afina

the girl who struggle with the question, "Who am I?"

2 thoughts on “”

  1. tapi membaca dramamu, fin, selalu berhasil membuatku mengernyitkan dahi sejenak, lalu melepasnya lagi. kadang dengan pelepasan yang berarti paham, kadang pelepasan menyerah karena tak berhasil paham, tapi dengan masih meresapi makna acaknya.

    kadang-kadang aku mikir, apa isi kepalamu dan bagaimana cara bekerjanya, karena dia unik. tulisan-tulisanmu unik. keep write on. biar aku juga punya pelepas jenuh dari kerja-kerja yang monoton ini hehe.

    Like

    1. Kepalaku jadi besar.
      Ini semacam keterampilan yang terasah selama tahun-tahun gelap ketika aku merasa harus selalu sembunyi, mungkin.
      Terima kasih banyak, Mas Mu, karena mau mengungkapkannya. Semoga kerja-kerjanya barakah. :)

      Like

Leave me some words