Persatuan, Perbedaan, Persamaan

Menurut Jansen (1980) masyarakat Jepang yang homogen menjadi salah satu faktor pengikat kebersamaan Jepang sehingga terbiasa berdisiplin dan didisiplin.

Kutipan itu aku temukan di tugas mata kuliah Individu, Kebudayaan, dan Masyarakat. Sumbernya adalah dari suatu buku, lupa judulnya, besar-dan-tebal, ada di perpus pusat tapi batal dipinjam Ica (haha, kok nggak terpercaya sekali ya – -).

Aku langsung teringat pada Indonesia yang beragam-ragam.

Tentu saja, Jansen bukannya bilang bahwa masyarakat yang heterogen nggak mungkin bersatu. Tapi homogenitas adalah salah satu faktor pengikat. Mari mencoba menelusuri hal ini: persatuan, perbedaan, persamaan.

Yang sejak dulu ‘diajarkan’ (or is it.. indoctrination?) padaku adalah bahwa keberagaman adalah kekayaan. Indonesia kaya karena punya beratus suku, bahasa, dialek, dan budaya. Kita adalah bangsa yang berbeda-beda tapi tetap satu jua. Tapi sekarang, aku jadi suka bertanya, “Benarkah?”

Bisakah keberbedaan benar-benar menyatu?

Bahkan, kalau kita memang harus begitu menghargai perbedaan, bagaimana dengan ‘menghargai mereka yang tidak ingin bersatu’? Mengapa separatisme dipandang begitu buruk?

Kata Aristotle, orang yang saling setuju akan menjadi teman, sementara orang yang berbeda pendapat tidak akan berteman. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa seseorang cenderung berteman dengan mereka yang memiliki sikap sama (similar attitudes) dengannya. Ya bayangin aja. Misalnya kamu ngomong panjang lebar tentang klub bola favoritmu dan yang kamu ajak bicara malah menanggapi, “Ngapain sih itu? Kan mending semua pemainnya dikasih bola satu-satu biar nggak rebutan.” Kan….kan…nggak nyambung ==” Karena ini baru masalah bola, mungkin kamu nggak akan dendam kesumat padanya. Tapi gimana kalau perbedaannya ke urusan-urusan yang lebih prinsipil?

Secara alami kita suka kesamaan pada taraf tertentu. Maksudnya, ya nakutin juga kan kalau ada orang yang segala pada dirinya sama denganmu.. jadi kayak kloning – -.  Tapi yang jelas, awalnya kita butuh satu persamaan utama yang kuat, baru kemudian kita butuh perbedaan-perbedaan unik yang akan mewarnai kebersatuan itu.

Jadi aku bertanya-tanya lagi nih. Kita sebagai bangsa Indonesia ini punya persamaan apa sih? Sama-sama dijajah Belanda dan Jepang. Sudah, itu saja? Ada lagi yang lain?

Menurutku, persamaan ‘nasib buruk di masa lalu’ itu sekarang nggak bisa jadi alasan yang cukup kuat. Generasi yang sekarang nggak merasakan kesamaan itu (karena sudah merdeka). Saat ini yang ada malah perbedaan nasib di mana-mana lho.

Aku juga sering mendengar jawaban begini, “Optimis dong! Memang susah. Tapi bukan berarti mustahil!”

Kalau gitu sebenarnya…kenapa harus? Maksudku, kalau kamu ingin mencapai suatu tempat dan ada beberapa alternatif jalan; yang satu melewati hutan belantara dengan binatang-binatang buas sementara yang lain adalah jalan aspal yang mulus… normalnya kamu akan memilih jalan yang kedua kan. Apakah memilih ‘jalan yang mudah’ itu salah?

Apakah kita sebegitu harus menyatukan dan menghargai perbedaan? Padahal di awal terbentuknya republik ini saja kita sudah memaksakan ideologi yang disetujui segelintir cendekia untuk semua, menyebut orang-orang dengan pemikiran berbeda sebagai ‘pemberontak’ yang membahayakan negara. Mereka itu sebelumnya juga berjuang melawan penjajah lho.

Sejauh ini, aku belum tertarik pada nasionalisme. Maaf ya pembahasannya lompat-lompat. Aku sedang bertanya-tanya bingung saja. cmiiw ya.

Btw, nih, jurnal tentang attitude similarity:
Condon, J. W., & Crano, W. D. (1988). Inferred evaluation and the relation between attitude similarity and interpersonal attractionJournal of Personality and Social Psychology, 54(5), 789-797. doi: 10.1037/0022-3514.54.5.789

Published by

afina

the girl who struggle with the question, "Who am I?"

8 thoughts on “Persatuan, Perbedaan, Persamaan”

  1. Entah dalam masyarakat yang homogen atau heterogen,banyak orang sudah mulai meninggalkan nasionalisme. Globalisasi sudah membuat wawasan kebangsaan tidak hanya dalam lingkup negara lagi, tapi sudah global. Seperti katanya H.G. Wells, “Our true nationality is mankind.” *eh ini nyambung gak ya*

    Like

    1. Eh tapi An, bisakah kita benar-benar memeluk seluruh umat manusia sebagai ‘teman’ tanpa memusuhi sebagian? Aku nggak bisa :/
      Jadi sebenarnya tulisan di atas itu juga membingungkan masalah batas antara kesamaan dan kebedaan yang bisa kita toleransi dengan benar. Tentu saja aku nggak mau menoleransi semua perbedaan. Tapi batasnya itu agak membingungkan.
      Ah, ngomongku mbulet – –

      Like

  2. Terima kasih untuk semua komentarnya.
    Atau, mungkin sebenarnya persoalan nasionalisme ini tidak perlu dibahas? Nasionalis atau bukan, kita tetap harus mengusakan yang terbaik untuk sekitar (dan bukan cuma untuk diri sendiri) kan?

    Like

    1. “Jalan yang mudah”-nya jalan yang mana?

      Untuk bersatu, iya, menurutku juga sangat butuh persamaan.
      Selama di Bandung, aku rasanya seneng kalo ketemu orang yang bisa bahasa jawa, atau paling nggak berasal dari jawa (timur/tengah). Aku kayak ngerasa nggak asing, berada di tempat yang kukenali sehingga merasa aman. Mungkin persamaan macam ini (macam apa?) yang bisa membuat kita bersatu.

      Like

      1. Kata beberapa orang, mempersatukan Indonesia yang beragam memang susah, tapi bukan mustahil. Nah maka maksudku dengan ‘jalan yang mudah’ adalah tidak mempersatukan perbedaan tersebut. Berarti, membiarkan masing-masing kelompok nyaman dengan jalannya sendiri-sendiri. Mengizinkan separatisme.

        Tapi, duh, entahlah. Somehow ini juga terasa nggak pas.

        Like

Leave me some words