Lima Jenis Orang

Ada orang-orang yang berada di tempat berjauhan dan saling merindu, saling ingin bertemu. Sayangnya persoalan jarak itu membuat mereka terpaksa bersabar, menanti waktu-waktu ajaib yang sangat langka ketika mereka bisa melihat, mendengar, dan merasakan wujud nyata satu sama lain.

Ada orang-orang yang sebenarnya berada dekat, tapi tetap saja tidak dapat saling bertemu walau begitu ingin. Biasanya karena kesibukan masing-masing. Persoalan ini juga membuat mereka tepaksa bersabar, bahkan lebih keras lagi. Bukankah lebih menyedihkan ketika sesuatu berada sangat dekat tapi tetap tidak dapat kita raih?

Ada lagi orang-orang yang begitu berdekatan dengan waktu luang yang terhambur berceceran. Hanya saja masing-masing merindu sendirian, tidak begitu yakin apakah yang lain ingin bertemu juga atau tidak. Takut bertanya, takut sok tahu, takut kegeeran. Rasanya serba takut dan serba tidak pasti. Lagi-lagi berada begitu dekat tapi tidak bisa meraih. Yang lebih parah lagi adalah mereka tidak tahu apakah pantas untuk berharap bertemu, atau apakah sudah waktunya untuk berhenti mengharap.

Sebentar, ternyata masih ada jenis orang yang lain: orang-orang yang berdekatan dengan aktivitas yang selalu berpotongan. Mereka bertemu atau berpapasan atau bercakap-cakap setiap hari, gampang menjadi senang setiap hari. Tapi tetap saja, kesenangan itu tidak bisa dibagi. Mereka tidak pernah saling berkata, “Senang sekali bertemu denganmu hari ini!” Lagi-lagi mereka sendirian, tidak tahu apa yang dirasakan oleh yang lain. Kesenangan yang setiap hari itu selalu disela oleh tanya-tanya ragu dalam hati, ‘Apakah dia juga? Apakah aku saja?’ Mungkin terlihat sangat dekat, tapi di balik itu sebenarnya sangat berjauhan. Keadaan ini lebih menyedihkan dari tiga yang sebelumnya karena seseorang akan susah sekali keluar darinya. Reinforcement yang ia dapat setiap hari akan mengantarnya pada keputusan untuk membiarkan, mempertahankan keadaan ambigu ini mengalir. Ia takut kalau membuat ulah sedikit saja, menyinggung pertanyaan itu sekilas saja, segalanya akan berakhir dengan ia tidak mendapat apa-apa.

Nah. Yang terakhir ini adalah jenis yang paling menyedihkan bagiku dan aku sama sekali tidak mau, benar-benar berharap tidak akan berada pada keadaan yang ini. Ketika orang-orang yang dulunya saling merindu, saling ingin bertemu, saling tidak yakin tentang perasaan yang lain, saling mengharap sendirian… ketika mereka itu kemudian mendapat segala kelapangan ruang dan waktu untuk bisa menghidupi setiap hari bersama, berinteraksi, saling mengetahui, saling merasa aman, terhindar dari ambiguitas… lalu perlahan mereka mulai terbiasa dengan kemewahan itu, bosan bersyukur atasnya, dan menganggap hal itu biasa-biasa saja.

Sedih, menyedihkan sekali.

Kalau sudah begitu.. wah, ya sudah.

Published by

afina

the girl who struggle with the question, "Who am I?"

6 thoughts on “Lima Jenis Orang”

  1. Bosan itu….bukan sesuatu yang bisa dihindari. Perasaan itu pasti terjadi apabila kita mengalami sesuatu yang sama secara terus-menerus…

    Sori ya vivin sempat lupa sama kamu….. Aku harap kamu maklum dengan memori tingkat manusia-ku ini yang tentunya sangat terbatas kemampuan mengingatnya.

    Like

    1. Nah. Dengan menyadari itu, semoga (aku) nggak malas buat melakukan inovasi-inovasi biar nggak ‘sama terus menerus’.

      Iya, Dit. Sebenarnya aku mau main-main lebih lama dengan kelupaanmu.. misalnya pura-pura jadi agen rahasia yang tau data-data pribadimu :))
      Terima kasih sudah mengunjungi blogku di tengah kesibukan manusiawimu. :)

      Like

Leave me some words