What I Learned From Azure Dreams

I found this game review (kind of?) that I wrote in 2014…


Hah, Azure Dreams?? Ini review datang dari abad ke-20 apa?

Nggak. Tulisan ini mulai dibuat pada 28 Desember 2014, 17 tahun setelah Azure Dreams pertama kali dirilis oleh Konami. Ceritanya aku sedang cukup bahagia karena baru menyelesaikan game ini.. Iya, 17 tahun setelah rilisnya. 😬

Azure Dreams mengambil setting di Monsbaiya, sebuah kota di tengah padang pasir. Kota itu berkembang karena adanya Monster Tower di sana, sebuah bangunan 40 lantai tempat para monster hidup. Orang-orang masuk ke dalam tower itu untuk berpetualang dan mencari telur monster yang bisa dijual dengan harga lumayan.

Adalah Koh, anak laki-laki dari seorang monster tamer legendaris yang terbunuh di dalam Monster Tower ketika Koh masih bayi. Game dimulai saat Koh mencapai usia kedewasaan dan masuk pertama kali ke Monster Tower.

Koh di depan rumahnya

Ia bertemu dengan Kewne, monster yang menjadi ‘familiar’ pertamanya. Familiar adalah monster yang sudah dijinakkan oleh monster tamer. Singkat cerita, Koh pun memulai petualangan sebagai monster tamer untuk membantu keuangan keluarganya.

Kewne

Basically, goal dari game ini adalah mencapai lantai 40 di Monster Tower. Yang jadi tantangannya adalah bahwa Koh akan selalu memulai dari level 1 setiap kali memasuki tower. Iya, jadi semua EXP yang kita kumpulkan dalam kunjungan sebelumnya hangus. Koh bisa membawa masuk maksimal 5 item saja ke dalam tower. Selain itu kalau sampai ‘exhausted’ (secara teknis ketika HP 0), Koh akan kembali ke Monsbaiya dengan kehilangan seluruh item dan equipment. Satu-satunya cara keluar dengan selamat dari tower adalah menggunakan item tertentu yang akan kita temukan kalau beruntung.

Monsbaiya juga tidak punya fasilitas memadai untuk memuluskan petualangan Koh (yah, ‘kota di tengah padang pasir’ sih). Toko-tokonya cuma menjual herb penambah HP serta sword dan shield paling rendahan. Monster Tower memang jadi sumber utama segala hal dalam Azure Dreams.

Ketika pertama kali memainkan Azure Dreams (waktu SD) rasanya cukup frustrating. Lha gimana ini playernya masa mati mati terus. Itemnya hilang lagi, hilang lagi. Mulai dari awal lagi. Tampak pointless. Sepertinya saat itu aku lupa bahwa walaupun Koh akan selalu kembali memulai dari level 1, familiar-nya tidak. Jadi pada dasarnya kita pergi ke tower untuk menaikkan level familiar. Dengan dibantu familiar yang lebih kuat, Koh pelan-pelan bisa mencapai lantai yang lebih tinggi.

Hari ini, setelah mencapai lantai 40 dan menyelesaikan pembangunan Monsbaiya, aku semacam mereka-reka insight yang bisa diambil dari Azure Dreams..

Pertama, bahwa pekerjaan membutuhkan ketekunan. Dan ketekunan itu melelahkan dan membosankan. Kadang seolah tidak ada kemajuan, dan memang begitulah aturannya. But one day, eventually, it will be paid off.

Menaikkan level adalah perjalanan panjang monoton membosankan menelusuri dungeon, melawan ratusan monster yang itu itu lagi, demi EXP yang bertambah dalam porsi mini. Tidak ada perkembangan cerita, juga tidak ada reward yang signifikan. Terasa ironis bahwa permainan (which is a potential escape from the real life-work, just to have some fun) justru menuntut ketekunan. Aku melihatnya sebagai.. Bahkan mainan aja harus tekun! Apalagi hidup!!

Kedua, dunia kadang terasa sempit, ini wajar. Tidak perlu memaksa untuk memperluasnya, semua akan datang pada saatnya. Insight ini aku sambung-sambungkan dengan Azure Dreams yang mengungkung tokoh utama dalam Monsbaiya dan Monster Tower saja. Ini berbeda dengan kebanyakan RPG yang melibatkan perjalanan jauh ke negeri antah berantah dalam misinya.

Misi awal Azure Dreams sebenarnya simpel sekali: membantu keuangan keluarga. Nggak sampai ‘menyelamatkan dunia dari penguasa zalim’ atau ‘mengalahkan monster legendaris yang bangun dari tidurnya’. Seiring berkembangnya kemampuan Koh, orang-orang meminta bantuannya untuk membangun ini dan itu di Monsbaiya. Perlahan, secara alami, dunia Koh meluas.

Kalau udah sukses kita nisa bangun kolam buat warga..

Ketiga, maintaining two lives at the same time is hard. Haha this goes without saying. Aku tidak tahu apakah di masa depan akan punya kesempatan untuk memainkan RPG secara ekstensif. Mungkin orang akan berkesimpulan: yasudah jangan main game! Kehidupan nyata tuh urusin! Tapi bagiku kesadaran ini membuat gamer profesional jadi tampak keren. Mungkin butuh ratusan siklus saving-loading untuk memecahkan semua teka-teki game yang rumit, belum lagi menuntun orang lain untuk memecahkannya via walkthrough! Pasti butuh self control yang mumpuni. Menarik. Ini amazement yang hampir sama dengan yang aku rasakan terhadap orang-orang yang menyeriusi lari. Those people take game seriously.

Begitulah. Dan, uh, nostalgic sekali rasanya melihat grafik 3D kasar di layar. 😆

Langit! Langit! Langit!

Sebuah perjalanan ke ujung, ke jauh, ke tinggi
Semua baru
Katamu kita tidak perlu betul-betul tahu
Satu lalu dua lalu tiga, dan seterusnya
“Ayo jalani bersamaku.”

Kuingat suatu hari yang panas saat kau mendongak lepas
“Tanah selalu siaga di bawah,
jadi jangan takut memandang awan.”
Langkahmu tenang, tapi mengapa pikiranmu tergesa?
Tidak cukupkah mengamati bayangan lucu kita?
Belum-belum kau sudah bertanya,
“Ke mana lagi kita akan pergi setelah mencapai ujung itu?”

Langit?

Atau langit-langit, bukankah hampir sama
Kita bisa berlari memanjat lantai teratas,
berburu langit-langit paling luas


Langit-langit! Langit-langit!

Sebuah pendakian menolak batas
Sudah berapa lama kita bersama?
Anak tangga keseratus satu, dua, tiga,
Katamu kita tidak perlu berhenti
Lalu cahaya mentari yang sampai ke dinding ini,
siapa yang akan mengagumi?

Katamu aku pengecut
enggan meninggi karena takut jatuh
Tapi katakan sejujurnya padaku
Bukannya kau pergi sejauh ini untuk lari dari diri sendiri?
Yang hujan dan berlinang, yang gelap dan berkilatan?

Kenapa tidak duduk dulu agar kita tenang menata
perasaan dan perkataan?


Langit langit langit…
Tanah menerima hujan dengan punggung terbuka
Tetesan keseribu seratus satu, dua, tiga
Sesuai janji, kita bangkit sendiri-sendiri
tanpa perlu saling memayungi
dan kita masih bisa berkecipak menari menyanyi

Ternyata basah tak seburuk itu kan?


First draft: October 2013
Finished edit: April 2024
Inspired by Depapepe’s Sky! Sky! Sky!

A Eulogy for the Young Woman in Her Twenties Who Was Me

Kamu yang sebenarnya dan kamu sebagaimana aku mengingatmu, mungkin sangat jauh berbeda. Namun, izinkanlah aku menulis salam perpisahan padamu berdasarkan versi memoriku.

Kita mulai dengan hal-hal yang kamu punya.

Metabolisme tubuh yang lebih baik. Kamu punya itu, aku tidak. Energi untuk tidur hanya empat jam tanpa terbangun dengan sakit punggung dan pinggang. Itu juga kamu punya.

Kamu punya banyak sekali hal yang tidak aku punya. Tapi (atau dan?) segala yang kupunya hari ini adalah karenamu, karena apa yang kamu kerjakan dan hindari. Karena keputusan, kelemahan, dan kekuatanmu.

Ingat kamar kecil mungil di pojok asrama yang dulu kita tempati bersama? Ingat rasa berkeringat yang membahagiakan ketika selesai mendaki tangga dan akhirnya sampai di lantai kamar kita?

Aku selalu merasa perjalanan kita akan berakhir di tahun ke-27–entah mengapa. Tapi ternyata tidak. (Apakah kita terlalu banyak menjalin silaturahmi??) Ternyata sudah lebih dari tiga tahun berlalu. Sudah saatnya kamu meninggalkanku dan aku menanggalkanmu. :)

Tapi aku janji akan tetap mengingatmu. Aku suka mengingat bagaimana semangatmu dan sarkasmemu. Aku suka tulisan-tulisanmu dan keluguanmu. Dan rahasia-rahasiamu. Terima kasih sudah belajar, keras ataupun lembut. Kamu sudah melakukan yang kamu bisa. Hingga aku berada di sini.

Aku suka keberanianmu dan bagaimana kamu selalu mengambil keputusan untuk diri kita sendiri. Tidak seperti dulu di masa muda–lebih muda–mu.

Aku suka spontanitasmu. Ketika kamu mendaftarkan diri untuk ini dan itu dan pergi ke sini dan ke situ, mengeksplorasi beragam hal, beragam emosi, beragam kehidupan. Aku akan mengingat itu selalu.

Kamu pintar, dan aku tahu kamu suka menjadi pintar. Tapi aku menemukan bahwa kepintaran bukanlah sesuatu yang melekat. It’s just a state in a context, not our identity. And it’s okay.

Aku suka tulisan-tulisanmu. Dan aku suka juga kamu dalam episode tidak-bisa-menulis-mu. Aku suka kamu dalam kepintaran dan kebodohanmu–yang mungkin tidak suka kamu akui.

Aku ingat sekali bagaimana dulu kamu menghadapi kebanjiran berkali-kali dengan gagah berani. Mengikhlaskan segala kepunyaan dan kesayangan. Saat itu berupa benda dan materi. Kini mungkin saatku untuk terinspirasi. Untuk dengan gagah berani melepaskan kelekatan dan kesayangan yang mana–aku pikir–adalah diriku sendiri.

Dulu kamu mencari-cari diri dan atribut yang bisa disematkan pada diri. Tapi kini aku akan memilahnya, menanggalkan hal-hal yang ternyata bukan diri kita. Memberikan ruang untuk hal-hal lain–yang terencana maupun tidak–untuk tumbuh. Tanpa perlu mencari-cari di luar sana. (All this time, it’s always been here.)

Dah, itu aja. Selamat tinggal, duapuluhan.

the lady who prayed for a long life

It was a few days ago. I was sleeping through my fever. Then I had this dream.

The dream had no particular setting, no particular place or context. Just there she was, sitting on a chair, calm and content.

She called for me and told me to rest on her lap. So I did. Because she was on a chair, I kinda kneeled in front of her, putting just my head on her. Eyes closed, my head facing left so my right cheek touched her lap.

Thinking about it now, it was an awkward position. But in my dream, it felt just so comfy. Like a much needed nap.

(Napping in my sleep. How meta!)

My mama told me that eyang did prayed for a long life, because she was curious what will become of her children, and grandchildren, and grand-grandchildren.

I have so many questions. For starters, how does it feel to live a long life? And don’t you get tired of life? Don’t you get bored? Don’t you get sick? Don’t you get tired of being bored and sick? And sad?

Is it worth it?

I had always thought of her as a wonderful person. In my eyes, she was like this big, mysterious library. She held many many stories, historical and personal. But I wasn’t brave enough to explore it.

Now, even if she’s still around, I think I won’t have the courage to really ask my questions and get to know her as a person.

Maybe someday. Later, in jannah. In syaa Allah.

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهَا وَارْحَمْهَا وَعَافِهَا وَاعْفُ عَنْهَا